Susuri Jejak Ayahnya di Banyuwangi, Ini Kata Emil Salim

Rabu, 26 Desember 2018


 

BANYUWANGI - Ekonom senior dan mantan menteri Prof Emil Salim mengunjungi Banyuwangi. Selama empat hari di kabupaten ujung timur Jawa tersebut, Emil bersama keluarganya menyusuri jejak perjalanan hidup ayahnya sekaligus meluangkan waktu untuk berwisata.

 

Guru besar ekonomi Universitas Indonesia (UI) tersebut bercerita, ayahnya dulu pernah bertugas di Banyuwangi pada 1926. Baay Salim, sang ayah, bekerja sebagai pegawai pekerjaan umum di Banyuwangi. Kakak Emil Salim yang bernama Siti Chamsiah juga lahir di Banyuwangi pada 1928, sebelum kemudian sang ayah pindah tugas ke daerah lain.

 

"Bapak sering bercerita tentang Banyuwangi, tempat kerjanya dulu. Banyak pohon-pohon besar di tempatnya," kata keponakan pahlawan nasional Agus Salim mengenang cerita ayahandanya.

 

Cerita tersebut mendorongnya untuk datang ke Banyuwangi. Ia mencari tempat dimana ayahnya tersebut, bekerja. "Alhamdulillah, sudah saya temukan. Tempatnya di Djawatan," ungkapnya.

 

Kawasan Djawatan memang ditumbuhi pepohonan besar yang berusia sangat tua, mulai trembesi sampai jati. Dulunya, kawasan tersebut merupakan bekas stasiun kereta api dan tempat pengumpulan kayu. Namun, sejak 1960-an tempat tersebut tak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Sekarang, tempat tersebut dikenal sebagai salah satu destinasi wisata. Pohon-pohon besar yang ditumbuhi tanaman semacam lumut menjadikannya tempat yang eksotis, bahkan banyak yang menyebut mirip latar film “Lord of the Ring”.

 

Emil Salim juga berkeliling di berbagai tempat wisata di ujung timur Jawa itu. Mulai  Bangsring Underwater hingga pantai Pulau Merah.

 

Pada hari terakhir kunjungannya, ia menyempatkan bersilaturahim dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Pendopo Sabha Swagata Blambangan, Rabu (26/12). Dalam kesempatan itu, Emil mengapresiasi kebijakan pembangunan di Banyuwangi.

 

"Saya kira kebijakan pembangunan yang ada di Banyuwangi ini telah berada di jalur yang benar," ungkapnya.

 

Pembangunan yang dimaksud adalah partisipasi masyarakat dalam membangun pariwisata. Di banyak tempat, pariwisata hanya dikuasai oleh kalangan investor dan pemilik modal besar. Namun, di Banyuwangi, rakyat bisa didorong untuk terlibat.

 

"Di Pulau Merah yang pantainya bagus itu, misalnya. Jika diizinkan ada hotel, mungkin hotel bintang lima akan berebut, seperti halnya di Nusa Dua (Bali). Tapi, Pak Bupati, tak memberikan izin. Justru, mendorong rakyat untuk membuat homestay. Ini menarik," jelas lulusan University of California itu.

 

“Artinya, sebenarnya kebijakan pariwisata yang berpadu dengan lingkungan dan masyarakat itu bisa dilakukan, seperti di Banyuwangi ini,” pungkas Emil. (*)

 



Berita Terkait

Bagikan Artikel :