Banyuwangi Targetkan Produksi Susu Sapi 20 Liter / Sapi
Jumat, 29 Maret 2013
CLURING – Selama 2 tahun terakhir, Banyuwangi mengembangkan sapi perah. Saat ini Banyuwangi memiliki 1475 ekor sapi, yang tersebar di beberapa sentra sapi perah, antara lain di Kecamatan Licin, Glagah, Kalipuro, Kabat, Purwoharjo, Cluring, Bangorejo. Juga ada di Kecamatan Genteng, Tegalsari, Tegaldlimo, Glenmore dan Pesanggaran. Setelah sebelumnya rata-rata susu yang dihasilkan 10 liter/sapi/hari, di tahun ketiga ini, bahkan Banyuwangi berani menargetkan produksi susu sapi sebesar 20 liter/sapi/hari.
Selama ini, 1475 ekor sapi tersebut, per harinya mampu menghasilkan 4000 liter susu per hari. Dan tiap 2 hari sekali, peternak mengirimkan susu sapinya ke Nestle sebanyak 5000 liter. Sisanya dipasarkan untuk lokal Banyuwangi. Jika 20 liter/sapi/hari bisa dihasilkan, maka pasokan susu untuk Nestle pun tentunya juga bisa meningkat. Dan itu berdampak baik bagi perekonomian masyarakat.
Untuk mencapai target tersebut, secara khusus Pemkab Banyuwangi kembali mendatangkan konsultan dari Kanada untuk pengembangan sapi perah di Banyuwangi. Kedatangan Robert Lang atau yang akrab disapa Bob Lang dari bagian Trade and Development Consultant Canadian Livestock Genetics Association (CLGA) ke Banyuwangi, salah satunya adalah membina para peternak sapi perah di Bumi Blambangan untuk mencapai goal itu.
Lang yang telah hadir di Banyuwangi dan memberikan pelatihan untuk para peternak sejak Senin lalu (26/3) mengatakan, potensi yang dimiliki Banyuwangi, khususnya potensi di bidang pertanian sangat bagus. Lahannya yang subur memungkinkan untuk menanam tanaman hijauan (forage) untuk pakan ternaknya. Lang yang juga datang bersama Hermawan, dari Komisi Perdagangan Kedutaan Besar Kanada di Indonesia dan Pammusureng, Konsultan Spesialis Persusuan, Kamis siang (28/3), melakukan kunjungan ke peternakan sapi perah yang dikelola Kelompok Surya Kencana di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring.
Mereka mengajak para peternak sapi perah tersebut langsung turun ke kandang berinteraksi dengan sapi untuk mempelajari kondisi tubuh sapi dan bentuk tubuh sapi yang menunjukkan sapi yang berkualitas sekaligus bernilai ekonomis. Kondisi tubuh sapi dipengaruhi oleh asupan makanannya. Jika makanan yang diberikan bagus, pengaruhnya juga terjadi pada pertumbuhan tubuhnya, otot-ototnya, dan kemampuan jantungnya memompa darah. Karena untuk menghasilkan 100 liter susu dibutuhkan 100 liter darah.
Sebab itu dengan detail Lang menjelaskan makanan yang layak yang seharusnya dikonsumsi sapi. “Sapi perah harus mendapatkan makanan yang cukup serat. Di Kanada, sapi perah mendapatkan makanan yang seratnya bagus untuk pencernaannya, yakni dari sorgum atau alfalfa. Makanan itu diberikan pada sapi perah dalam kondisi sudah dichopper (dipotong-potong) sehingga sapi-sapi tersebut bisa dengan mudah mengunyahnya,”terang Lang. Berbeda dengan di Indonesia, ujar Lang, dimana kebanyakan peternak memberi sapi dengan makanan yang tidak sesuai untuk pencernaannya. “Konsentrat, ampas tahu dan tepung jagung sama sekali bukan makanan yang baik bagi sapi. Makanan jenis ini tidak mengandung serat, sehingga hanya sekedar lewat di lambung sapi. Kondisi itu berpengaruh pada kelangsungan hidup bakteri di dalam lambung,” ungkap Lang. Belum lagi cara penyajian tanaman hijauan dari rerumputan sekitar – yang disebut Lang sebagai ‘makanan sampah’ lantaran nilai gizinya yang rendah - yang diberikan dalam kondisi utuh atau tanpa dipotong-potong terlebih dahulu, cukup menyulitkan sapi dalam mengunyahnya.
Lang menyarankan peternak Banyuwangi segera beralih pada pakan yang lebih murah namun bergizi tinggi, yakni dengan memberikan sorgum ataupun tanaman alfalfa. Jika sulit mendapatkannya, peternak bisa menanam sendiri di lahannya.
Keprihatinan atas kurang layaknya jenis pakan yang diberikan pada sapi perah, membuat Lang langsung menawarkan niatnya pada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas untuk mengirim bibit sorgum dari Kanada untuk ditanam di Banyuwangi. Sorgum jenis ini tak diambil bulirnya untuk dikonsumsi manusia sebagaimana yang ditanam di Kecamatan Wongsorejo. Istimewanya, sorgum jenis ini bisa dipanen 4 kali. Panen pertama setelah usia 45 hari, panen kedua setelah 25 hari dari panen pertama, panen ketiga dan keempat secara berturut-turut juga berjarak 25 hari dari panen sebelumnya.
Pengiriman bibit sorgum itu sekaligus juga diikuti pengiriman tenaga ahli yang akan mengajari peternak cara menanam, merawat, hingga memprosesnya menjadi pakan ternak. Bupati menyambut baik tawaran Lang, dan menyanggupi untuk menyiapkan lahan seluas 4 – 5 hektar untuk menanam sorgum tersebut.
Lang juga mengatakan, Pemerintah Kanada pada bulan Juni atau Juli mendatang, akan memfasilitasi 6 peternak Banyuwangi untuk belajar langsung tentang sapi perah di Kanada. Hal itu juga disambut baik Bupati Anas dalam rangka peningkatan kapasitas dan kapabilitas peternak. Peternakan sapi perah di Banyuwangi memang terkendala oleh skill peternak yang sebagian besar tidak punya pengetahuan bagaimana memproduksi susu sapi yang berkualitas, yang tentunya diawali dengan pemberian pakan yang berkualitas pula. Selain itu juga faktor teknologinya yang belum dikuasai oleh peternak. Karena itu keberangkatan 6 orang peternak ke Kanada, perlahan – lahan juga untuk memperbaiki kendala-kendala itu.
Sepintas Lang juga sempat mengajarkan pada peternak, bagaimana menghasilkan sapi yang berkualitas. Jika sapi berasal dari gen yang kurang baik, maka kualitas sapi yang dihasilkannya pun kurang baik pula, seperti tulang punggung yang tidak rata atau kaki yang terlalu melengkung. Bila peternak tak segera tanggap, keturunan sapi yang dihasilkannya pun akan meneruskan kekurangan yang serupa atau kondisinya lebih parah. Kondisi itu bisa diatasi dengan cara mengawinkannya dengan pejantan yang lebih baik. Dengan demikian, kekurangan itu sudah tidak akan muncul pada 2 atau 3 generasi berikutnya. (Humas & Protokol)