Festival Gandrung Sewu Pukau Ribuan Wisatawan
Sabtu, 17 September 2016
Banyuwangi – Festival Gandrung Sewu yang digelar di Pantai Boom, Banyuwangi, Sabtu (17/9), memukau ribuan wisatawan yang hadir dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan luar negeri. Sebanyak 1.300 penari Gandrung beraksi memainkan koreografi yang apik di bibir pantai dengan latar belakang Selat Bali dan semburat cahaya matahari tenggelam. Festival Gandrung Sewu telah memasuki tahun kelima. Ajang ini telah menjelma menjadi pariwisata event (event tourism) berkelas nasional. Terbukti dari berjubelnya wisatawan dan selalu meningkatnya okupansi hotel di Banyuwangi saat acara kolosal tersebut, "Setiap tahun kami memang selalu menyajikan atraksi yang fantastis dan selalu baru menjadi bukti sahih akan kemegahan Festival Gandrung Sewu," ujar Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi, Yanuar Bramuda. Tahun ini, Festival Gandrung Sewu menyajikan diorama "Seblang Lukinta". Tema yang sengaja dipilih untuk pagelaran tahun ini, merupakan skuel lanjutan dari Gandrung Sewu tahun sebelumnya yang bercerita tentang perjuangan Kerajaan Blambangan (cikal-bakal Banyuwangi) melawan penjajah. Para penari dengan instrumen kipasnya melingkari arena pertunjukan. Membentuk formasi berjajar, sebagian lagi melingkar, dan terus bergerak dalam derap tari yang rancak namun tetap berasa kelembutannya. Kipas putih dan merah beralih seiring tabuh gamelan dan angklung. Suara sinden yang menyanyikan lagu-lagu khas gandrung menjadi narasi cerita. Mengantarkan setiap adegan demi adegan berpaut menjadi pertunjukan yang tiada duanya. Seluruh atraksi itu akhirnya mampu mengundang decak kagum penontonnya. Tak ketinggalan Marleen, wisatawan asal Jerman. "It's very beautiful festival. I've never seen like this before. It is great when thousands people dancing together. Awesome," puji Marleen yang sedang berlibur ke Banyuwangi. Rosyid, wisatawan dari Malang yang datang bersama sepuluh rekannya, juga puas dengan aksi di Festival Gandrung Sewu. "Rasanya merinding melihat ribuan penari di bibir pantai pas jelang matahari tenggelam," kata dia. Pertunjukan yang menjadi bagian dari Banyuwangi Festival itu, bagi Bupati Banyuwangi Abdulah Azwar Anas, tak sebatas pagelaran. “Ini adalah konsolidasi budaya,” tegas Anas yang menyempatkan diri untuk menyapa para penari dan ribuan penonton Gandrung Sewu dari layanan face time, karena baru saja mendarat di Jakarta seusai menunaikan ibadah haji. Konsolidasi budaya, lanjut Anas, adalah bagaimana mendorong pelestarian seni-budaya yang sempat terkesampingkan menjadi seni-budaya yang membanggakan semuanya. "Saya yakin Banyuwangi tidak kesulitan meregenerasi para pelaku seninya. Festival Gandrung Sewu membuktikan itu. Ribuan anak dari seluruh Banyuwangi giat berlatih didukung orang tua dan para warga desanya. Ini partisipasi publik dalam mengembangkan seni-budaya dalam balutan pariwisata. Aspek seni-budayanya diraih, aspek ekonominya juga didapat melalui pariwisata," pungkas Anas. Salah seorang penari di festival ini, Yuniar Trianingsih, tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. "Rasanya luar biasa ketika ribuan orang melihat saya menari. Ini pengalaman tak terlupakan dan menyemangati saya untuk selalu cinta seni-budaya Indonesia, khususnya Banyuwangi," ujarnya. Yunita yang mengaku ingin menjadi penari profesional aktif di sanggar tari untuk melatih kepiawaian menari. “Seminggu dua kali latihan di Sanggar Tawang Alun,” tegas Pelajar kelas XI SMA Darus Sholah Singojuruh itu. Berbagai festival seni-budaya dalam Banyuwangi Festival memang sukses membangkitkan gairah masyarakat membangun wadah kreativitas seni generasi muda. Dari data yang ada, pada tahun 2010 jumlah sanggar tari baru ada 13 buah. Namun pada 2014 jumlahnya berlipat menjadi 59. “Itu yang tercatat resmi di data kami, ditambah sangar sanggar kecil lain mungkin bisa mencapai 66 buah,” ujar Bramuda. (Humas)