Smart Kampung Banyuwangi Gerakkan Ekonomi Lokal

Jumat, 3 Juni 2016


BANYUWANGI – Program ”Smart Kampung” berbasis desa yang digagas oleh Pemkab Banyuwangi efektif dalam menggerakkan ekonomi lokal, terutama warga desa. Instrumen teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mampu mendorong kreativitas warga dalam melakukan kegiatan ekonomi produktif.

”Kami memang sengaja mengusung program Smart Kampung, bukan Smart City karena memang tantangan kami ada di kampung-kampung. Ada dua tantangan utamanya, yaitu infrastruktur termasuk infrastruktur TIK yang masih minim dan kapasitas SDM yang perlu ditingkatkan. Hal ini berbeda dengan kota besar yang infrastruktur dan SDM-nya sudah sangat oke,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dihubungi usai menjadi pembicara dalam Festival Nasional yang bertajuk Smart Money Smart City yang digagas oleh Bank Indonesia di ruang eksibisi Golf Driving Senayan, Jakarta, Jumat (3/6).

Program ”Smart Kampung” baru saja diluncurkan oleh Menkominfo Rudiantara pada Selasa lalu (31/5). Di Banyuwangi telah ada 41 desa/kelurahan yang menjadi pilot project ”Smart Kampung” dan saat ini sedang disiapkan untuk 176 desa lainnya. ”Smart Kampung” adalah program pengembangan desa terintegrasi yang memadukan antara penggunaan TIK berbasis serat optik, kegiatan ekonomi produktif, kegiatan ekonomi kreatif, peningkatan pendidikan-kesehatan, dan upaya pengentasan kemiskinan.

Terdapat tujuh kriteria ”Smart Kampung”, yaitu pelayanan publik, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, pengembangan pendidikan dan seni-budaya, peningkatan kapasitas SDM, integrasi pengentasan kemiskinan, dan melek informasi hukum. Semua kriteria tersebut diturunkan ke program yang menyentuh kepentingan publik. TIK dijadikan pendorong untuk menjalankan program sesuai tujuh kriteria tersebut.

”Contohnya, UMKM di desa diberi pelatihan teknis yang nantinya pemasaran bisa berbasis online di situs belanja UMKM banyuwangi-mall.com. Smart Kampung juga jadi instrumen untuk mempercepat inklusi keuangan alias membuat warga makin melek keuangan yang akan disinergikan dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujarnya.

Anas menambahkan, kriteria pemberdayaan ekonomi dalam program ”Smart Kampung” menjadikan balai desa sebagai pusat ekonomi produktif yang difasilitasi pelatihan dan pemasarannya oleh pemerintah daerah, seperti batik dan produk olahan pertanian. ”Tentu jenis produknya menyesuaikan potensi lokal masing-masing kampung,” ujar dia.

Dengan ”Smart Kampung”, Anas berharap warga tak lagi minder karena semua pelayanan berbasis desa bisa menjawab kebutuhan warga. Dengan program ini, warga kampung bisa semakin termotivasi untuk maju. Yang pelajar bisa mengakses internet untuk menambah wawasan, yang UMKM bisa browsing untuk tahu tren produk, yang bergerak di pertanian bisa akses berbagai problem dan solusi pertanian, dan sebagainya. Istilahnya, bolehlah kami tinggal di kampung, tapi dekat dengan dunia,” papar Anas.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPM-PD) Suyanto Waspotondo menggarisbawahi perlunya kampung-kampung dialiri internet, bahkan harus yang berbasis serat optik. Oleh karena itu, tambahan alokasi dana desa (ADD) dari Pemkab Banyuwangi bakal dialokasikan untuk membeli bandwidth  di desa-desa. Pembelian bandwidth itu diatur dalam APBDes masing-masing desa.

”Ini juga bagian untuk menunjang pelayanan. Misalnya yang sudah jalan sejak lama adalah program Lahir Procot Pulang Bawa Akta Kelahiran. Asal disiapkan nama dan dokumen lengkap, begitu anak lahir, akta kelahiran bisa terbit. Biarkan berkasnya yang berjalan di kabel, bukan orangnya. Orangnya bisa hemat waktu, yang bisa digunakan untuk bekerja di sawah, mengolah buah, membuat batik, belajar bahasa, berkesenian, dan sebagainya. Sehingga, makin banyak warga produktif tanpa harus tersita untuk urusan administrasi,” kata Yayan, sapaan Suyanto.

Anas menambahkan, program ”Smart Kampung” bisa semakin mendorong ekonomi lokal, termasuk mengerek pendapatan per kapita warga. Dalam lima tahun terakhir, pendapatan per kapita warga Banyuwangi sudah naik 80 persen dari Rp 20,8 juta per orang per tahun pada 2010 menjadi Rp 37,53 juta per tahun pada 2015.

”Indeks ketimpangan atau gini ratio juga sudah turun menjadi 0,29. Meski demikian, problem kemiskinan tetap ada. Ada sebagian warga yang belum masuk dalam gairah peningkatan ekonomi ini. Banyak faktor penyebabnya. Mereka tidak ditinggal. Kami terus berupaya dengan program-program berkelanjutan, termasuk Smart Kampung ini,” pungkas Anas. (humas)

 



Berita Terkait

Bagikan Artikel :