Festival Gandrung Sewu Suguhkan Eksotisme Budaya Banyuwangi
Sabtu, 26 September 2015
BANYUWANGI - Pantai Boom Banyuwangi berubah menjadi panggung raksasa saat ribuan penari Gandrung beraksi memamerkan gerakannya di Festival Gandrung Sewu, Sabtu (26/9). Sebanyak 1.208 penari Gandrung berhasil menyuguhkan eksotisme budaya kebanggaan daerah tersebut ke publik luas.
Festival Gandrung sewu yang rutin digelar sejak 2012 itu menjadi salah satu magnet Banyuwang Festival, sebuah agenda wisata tahunan di kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa itu. Tidak hanya tariannya yang unik, jumlah penari yang ribuan dan view yang berlatar belakang laut Selat Bali juga menambah pesona Festival Gandrung Sewu.
"Festival Gandrung Sewu telah menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi daerah. Namun event ini tidak hanya menjadi sebuah atraksi wisata, tapi sekaligus sebuah konsolidasi budaya yang mampu membangkitkan partisipasi segenap rakyat Banyuwangi dalam memajukan budaya daerah," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Pertunjukkan Gandrung Sewu kali ini diikuti .1208 peserta yang berasal dari pelajar tingkat SD hingga SMA. Anas bercerita, saat kali pertama menggelar Festival Gandrung Sewu pada 2012 lalu, agak sulit untuk mencari seribu penari gandrung, namun kini antusiasme peserta sampai membeludak hingga diperlukan proses audisi dan seleksi untuk mendapatkan penari Gandrung terbaik.
"Ini menjadi sebuah bukti pengembangan budaya yang telah dilakukan mampu membangkitkan perkembangan budaya itu sendiri dengan banyaknya anak-anak kita yang bersemangat untuk mempelajari seni-budaya daerahnya. Kami berharap budaya Banyuwangi akan terus menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri dan ikut mengharumkan budaya Indonesia di mata dunia," imbuh Anas.
Dalam kesempatan itu, Anas dan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan juga menyerahkan penghargaan kepada dua penari Gandrung senior, yaitu Poniti (66 tahun) dan Kusniah (60 tahun). Penghargaan ini diberikan atas dedikasi dua seniman tersebut dalam melestarikan tari Gandrung.
Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kacung Marijan, yang turut menghadiri pertunjukkan Festival Gandrung Sewu mengatakan, Banyuwangi telah berhasil membangun sebuah ekosistem kebudayaan. Ekosisitem ini terbentuk lewat keterlibatan banyak pihak mulai sekolah, sanggar, hingga pelaku wisata dalam perhelatan ini. Festival Gandrung Sewu bahkan juga mampu menyumbangkan perputaran ekonomi bagi masyarakat. “Ekosistem Ini menjadi dasar bagi pengembangan budaya yang kuat,” kata Kacung.
Selain itu, lanjut Kacung Banyuwangi juga dinilai berhasil meletakkan kebudayaan sebagai bagian penting dari pembangunan. Kebudayaan tidak dipinggirkan tapi dikedepankan, menjadi pondasi sekaligus arah bagi pembangunan. “Kalau daerah mau maju harus menjadikan kebudayaan bagian dari pembangunan,” ujar Kacung.
Pertunjukkan kolosal Festival Gandrung Sewu tahun ini bertemakan "Podo Nonton". "Podo Nonton" merupakan salah satu tembang wajib yang mengiringi tarian gandrung dengan makna tentang perjuangan. Tidak hanya menyuguhkan tarian, pertunjukkan ini juga sarat pesan yang disuguhkan melalui drama teatrikal yang begitu atraktif.
Selama satu jam, ribuan wisatawan yang menyaksikan Gandrung Sewu dibuat terkesima dengan pertunjukan yang tergelar. Festival diawali dengan masuknya ribuan penari Gandrung ke venue dari segala penjuru. Lalu disusul dengan fragmen "Podo Nonton" yang menceritakan bagaimana makmurnya rakyat Banyuwangi sebelum kedatangan Belanda, hingga penjajah Belanda datang merusak tatanan kehidupan rakyat. Selanjutnya, dalam fragmen dipertontonkan perjuangan rakyat Banyuwangi yang melawan penjajahan Belanda.
Selama fragmen berlangsung, ribuan penari Gandrung itu tetap menari menjadi latar pertunjukkan. Sesekali mereka membentuk formasi di tengah pertunjukan sambil memainkan kipas warna-warninya. Di akhir cerita, ribuan penari Gandrung tersebut menjelma menjadi lautan ombak, yang memvisualisasikan para pejuang Banyuwangi yang di akhir peperangan mereka di buang ke Selat Bali. (Humas Protokol)