Festival Sajikan Keanekaragaman Budaya, Anas: Modal Memajukan Banyuwangi
Minggu, 9 Desember 2018
Banyuwangi - Festival Kuwung yang digelar di Banyuwangi, Sabtu malam (8/12), berlangsung meriah. Festival Kuwung, sebagaimana namanya yang berarti pelangi, menghadirkan beragam seni budaya yang tumbuh di seluruh pelosok Banyuwangi.
Festival yang dibuka Bupati Banyuwagi Abdullah Azwar Anas tersebut menampilkan mulai dari budaya Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) hingga budaya dari berbagai pelosok yang banyak menunjukkan hibriditas budaya.
Koreografi bertema "Teji Setro Asnawi" umpamanya. Tari yang dibawakan para seniman dari Kecamatan Bangorejo dan sekitarnya itu mengisahkan tumbuhnya seni jaranan di Banyuwangi.
Digambarkan tokoh bernama Asnawi yang merupakan pendatang dari wilayah Mataraman (Jawa Timur bagian barat) mengembangkan seni jaranan dan reog ke Banyuwangi. Jaranan pun berkembang dengan cita rasanya tersendiri karena telah terpaut dengan unsur seni Blambangan, kerajaan awal mula Banyuwangi.
Hibriditas kebudayaan tersebut, menurut Anas, sebagai perlambang dari inklusivitas warga Banyuwangi. "Orang Banyuwangi tidak anti keanekaragaman, baik suku, agama, maupun budaya. Keanekaragaman itu mampu diolah menjadi modal sosial dalam memajukan daerah,” ujar Anas.
Kreativitas dan keterbukaan tersebut, lanjut Anas, menjadi watak dasar warga Banyuwangi yang menjadikannya individu yang inovatif. "Spirit inovasi inilah yang terus kita bangun dalam menata Banyuwangi ke depan," ungkapnya.
Kebudayaan Banyuwangi tak hanya berangkat dari cipta karsa Suku Osing. Perjumpaannya dengan seni budaya dari daerah lain menjadikannya lebih beragam. Proses adaptasi dan inovasi dari perjumpaan kebudayaan tersebut menumbuhkan tradisi seni budaya baru seperti yang tersaji di Festival Kuwung.
Seperti sendratari berjudul "Paseban Agung Kedhaton Manikjingga". Fragmen ini mengisahkan perkembangan seni janger Banyuwangi. Sentuhan kebudayaan Bali dalam pertunjukkan tersebut tak lain berangkat dari kreativitas Mbah Darji dari Banyuwangi dalam mengadaptasi seni Arja dan Ande-Ande Lumut dari pulau seberang tersebut.
Unsur islami juga terasa kuat dalam seni di Banyuwangi. "Jelujur kundaran" yang ditampilkan oleh Kecamatan Banyuwangi dan sekitarnya menyiratkan tradisi para santri di Banyuwangi.
Seni budaya Suku Osing terwakili dalam sendratari "barong ider bumi" dan "meras gandrung" juga turut ditampilkan. Dua kesenian tersebut merupakan ritus kebudayaan yang bernilai spritualistik.
"Ada berbagai ritual yang harus dilakukan dalam kesenian tersebut sebagai wujud ungkapan syukur dan panjatan doa kepada Tuhan," ungkap budayawan Banyuwangi Hasnan Singodimayan.
Ditambahkan Anas, berbagai festival yang konsisten dikembangkan Banyuwangi ini sebagai upaya untuk memperkuat modal sosial warga Banyuwangi. Festival yang dibuat Banyuwangi merupakan hasil kerja bareng semua warga Banyuwangi yang melibatkan semua kalangan dari berbagai profesi.
"Festival-lah yang mempersatukan rakyat, membaurkan warga lintas suku, lintas agama. Budayawan bersama pemkab, dan tentunya melibatkan dan didukung warga bersama-sama menyajikan beragam event dalam Banyuwangi Festival. Festival adalah rajutan penting bagi perkembangan Banyuwangi," kata Anas.
Festival Kuwung sendiri merupakan pagelaran festival tertua di Banyuwangi, juga dimeriahkan oleh duta kebudayaan daerah lain. Di antaranya Kota Probolinggo, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Jembrana.
Ribuan penonton menyesaki sepanjang rute Festival Kuwung yang melintas dari depan kantor Bupati Banyuwangi hingga Gesibu Blambangan. Hujan yang sempat mengguyur tak menyurutkan antusiasme ribuan penonton yang memenuhi rute sejauh 2,5 Km tersebut. (*)