Jalankan Bisnis Keripik Jamur dan Usus, Sulastri Jadi Pengusaha Sukses

Selasa, 6 Maret 2018


BANYUWANGI  - Menjalankan bisnis keripik jamur dan usus, Sulastri (35), warga Desa Sraten, Kecamatan Cluring raih kesuksesan. Usaha yang awalnya hanya bermodalkan Rp 50 ribu tersebut kini beromzet Rp 15 juta per bulan. Sulastri pun mampu memasarkan produknya sampai ke luar kota.

Kesuksesan yang diraih Sulastri tidaklah serta merta terjadi. Istri Rohman Ali Budin ini mengawali kerja kerasnya sebagai karyawan toko bangunan selama lebih dari sembilan tahun di Desa Sraten. Memutuskan untuk resign dari pekerjaannya, Sulasti mulai merintis usaha keripik jamur dan usus dengan berbekal cara yang diajarkan kerabatnya yang tinggal di Malang.

“Akhirnya dengan modal Rp 50 ribu, saya memberanikan diri untuk berbelanja semua bahan baku yang dibutuhkan. Waktu itu semua saya kerjakan sendiri secara manual, mulai dari proses persiapan, penggorengan sampai siap disajikan,” tuturnya.

Sebelum dipasarkan, Sulastri punya cara unik untuk menarik minat orang-orang yang diyakininya sebagai calon pembeli. Yakni memberikan sample keripik  jamur dan usus untuk dijadikan tester bagi tetangga dekatnya. “Saya butuh testimoni mereka untuk mengetahui apakah keripik saya enak atau tidak. Awalnya masih banyak kekurangan,” kata Sulastri.

Ada yang mengatakan kurang gurih, terlalu asin, kurang renyah, sampai tekstur yang dihasilkan kurang menarik. Memasuki masa percobaan yang ketiga kalinya, barulah Sulastri menuai respon positif. Tetangga sekitarnya sebagian besar mengatakan kalau produknya layak dipasarkan.

“Saya senang dapat respon bagus. Tapi saya nggak langsung menjual keripik itu. Saya coba simpan produk camilan itu selama seminggu penuh dalam kemasan plastik,” kenang Sulastri.

Tujuannya, imbuh Sulastri, untuk mengetahui apakah produk tersebut tahan lama atau tidak. Juga untuk mengetahui batas maksimal masa konsumsi hingga berapa hari. Belakangan Sulastri mendapati produk keripiknya  ini mampu bertahan sampai enam bulan.

Setelah melalui uji coba hingga beberapa kali  tersebut, barulah Sulastri berani memasarkan produknya. Mulai dari toko-toko di desanya sampai dengan sekolah-sekolah. Pemasarannya menggunakan sistem konsinyasi atau titip jual .

“Jadi saya optimis waktu itu, sekolah-sekolah adalah target utama. Karena anak sekolah itu kan juga memiliki uang saku. Saya bandrol dengan harga jual Rp 500 per kemasan. Sedangkan sekolah yang saya bidik adalah sekolah saya jaman SMP. Dan Alhamdulillah sesuai dengan target,” tutur alumnus SMP 2 Tamanagung ini.

Tak puas disitu, Sulastri mulai memperluas pangsa pasarnya.Sebab jika hanya mengandalkan kemasan kecil dan segmen pelajar, bukan tidak mungkin jika suatu saat pasar lesu, usahanya pun akan merugi.

“Biasanya kalau segmennya hanya pelajar,  saat momentum pelaksanaan ujian, libur sekolah, dan bulan Ramadhan pasar akan sepi. Mulailah saya dan suami mengemas kripik  dengan kemasan  160 gram sampai  satu kilogram. Beruntung langkah ini bisa diterima oleh pasar. Sampai menembus pasar di wilayah Jember, Lumajang, Situbondo, Probolinggo, pasar swalayan (Roxy), sampai market place milik pemerintah (banyuwangi-mall.com),”terangnya.

Tak hanya menenggak sukses, Sulastri pun pernah menelan pil pahit. Ia pernah mengganti kemasan produknya dari plastik dengan alumunium foil yang menyebabkan dirinya menanggung rugi sebesar Rp 10 juta.

“Dengan kemasan alumunium foil,  produk keripik jamur saya tidak dikenali banyak orang. Kalau kemasan plastik bening ini kan bisa terlihat. Ya sudah, akibatnya sudah pasti rugi. Karena retur produk yang semakin besar dibanding pendapatan yang diterima. Atas kejadian itu, sampai sekarang saya putuskan tetap menggunakan kemasan plastik bening,” katanya.

Sulastri berharap, ke depan peranan pemerintah terhadap usahanya semakin meningkat. “Saya berharap pemkab tak bosan memotivasi dan memfasilitasi kami. Sejauh ini, pemkab sudah terlibat dalam pengembangan, dan kami berharap terus  ditingkatkan lagi,” ujar Sulastri. (*)

 



Berita Terkait

Bagikan Artikel :