Kopi Banyuwangi di Kaki Gunung Ijen Raih Sertifikasi Organik Dalam dan Luar Negeri
Selasa, 7 September 2021
BANYUWANGI – Pengembangan pertanian organik di Banyuwangi terus dilakukan. Setelah beras organik mendapat pasar di luar negeri, kini komoditas kopi Bumi Blambangan sukses meraih sertifikasi organik. Kelompok tani (Poktan) Kopi Rejo dari Desa Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, yang berada di kaki Gunung Ijen, yang telah mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sebagai produsen kopi organik.
Poktan Kopi Rejo menerima dua sertifikat organik, yakni sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) dari lembaga sertifikasi Icert Bogor; dan sertifikat Ekspor Uni Eropa yang diterbitkan ACT (Organic Agriculture Certification Thailand), lembaga sertifikasi organik yang berbasis di Thailand.
“Menurut dua lembaga sertifikasi tersebut, Poktan Kopi Rejo secara legal dan konsisten telah memenuhi persyaratan dalam memproduksi kopi organik. Ini pencapaian yang membanggakan bagi Banyuwangi yang tengah getol mengembangkan budidaya kopi organik,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Banyuwangi, Arief Setyawan (6/9/2021).
Lembaga Icert, lanjut Arief, menyatakan, kopi yang diproduksi Kopi Rejo dengan merek ”Kopi Lego” itu dinyatakan bebas pestisida dan pupuk kimia berdasarkan pedoman SNI 6729:2016, Permentan No.64/2013, dan Perka BPOM I/2017.
Adapun lembaga ACT Thailand menyebut, Kopi Lego telah memenuhi standar pasar Uni Eropa (UE) karena telah sesuai dengan ketentuan standar organik Amerika Serikat dan Canada.
“Artinya produk Kopi Lego sudah layak ekspor ke pasar Uni Eropa. Ini membuktikan, kopi rakyat Banyuwangi tidak kalah dengan produk kopi milik perkebunan,” ujar Arief.
Lahan kopi yang dikembangkan Kopi Rejo seluas 32,5 hektar. Adapun produk yang disertifikasi adalah kopi Robusta dan Ekselsa dalam bentuk biji kopi (green bean), biji yang sudah di-roasting, dan bubuk kopi.
Menurut Arief, budidaya kopi dengan sistem organik sangat menguntungkan petani. “Saat masih non organik, produksinya 700-800 kuintal per hektar. Sekarang menjadi 1,3 ton per hektar,” ujarnya.
Harga kopi organik di pasaran pun lebih tinggi. "Kopi organik Rp40 ribu per kg. Sedangkan kopi biasa sekitar Rp30 ribu per kg. Tentu ini meningkatkan kesejahteraan petani,” ujar Arief.
Sementara itu, Ketua Poktan Kopi Rejo, Taufik, menjelaskan penerapan sistem budidaya kopi organik ini telah dirintis sejak lima tahun lalu.
“Sejak 2016, anggota poktan kami berkomitmen tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Kami memilih menggunakan pupuk kompos dari kotoran kambing. Kebetulan di Desa Gombengsari banyak peternak kambing sehingga mudah mendapatkan bahan bakunya,” ujar Taufik.
Taufik lantas menceritakan upayanya mendapatkan pengakuan kopi organiknya yang tidak mudah.
“Kami melewati penilaian 3 tahun untuk mendapatkan sertifikasi organik. Kami selalu konsisten menerapkan pertanian organik mulai budidaya, panen, hingga pasca panen. Sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Alhamdulillah produk kami terbukti bebas kimia,” urai Taufik.
Taufik memaparkan, keberhasilan mendapatkan sertifikat tersebut tak lepas dari dukungan dari pemerintah. Selama proses penilaian, kata dia, BBPPTP Surabaya bersama Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Banyuwangi terus mendampingi.
Dinas Pertanian Banyuwangi, imbuh Arief, terus berupaya memperluas budidaya kopi organik. “Roadmap pengembangan dalam waktu dekat adalah pengajuan sertifikat indikasi geografis (IG). Sertifikat IG dibutuhkan agar produk organik Banyuwangi yang telah tersertifikasi ini bisa merambah ekspor dengan identitas kita sendiri. IG ini penting sebagai peneguhan identitas kopi asli Banyuwangi,” kata Arief. (*)