Perpaduan Tradisi dan Ekonomi Kreatif di Festival Ngopi Sepuluh Ewu Banyuwangi

Minggu, 11 November 2018


BANYUWANGI - Lautan manusia memadati jalan utama desa adat Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Sabtu malam (10/11). Ribuan pengunjung tersebut datang untuk menikmati kopi Banyuwangi dalam sebuah Festival Kopi Sepuluh Ewu (Sepuluh Ribu Cangkir Kopi). Desa Adat Kemiren sendiri adalah basis Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) yang di sekitarnya banyak terdapat perkebunan kopi. Di sepanjang jalan di depan rumah warga, tersedia bangku, tikar, dan tempat duduk lainnya. Pengunjung bebas memilih singgah di manapun untuk menikmati seduhan kopi yang disuguhkan gratis oleh warga. Jajanan tradisional pun tak luput dihidangkan. Ada pisang goreng, apem, kucur, klemben, dan sebagainya. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, tradisi meminum kopi bersama ini tak sekadar festival. Ada makna filosifis, tradisi, hingga geliat ekonomi. "Festival ini sebagai undangan kepada seluruh orang di mana pun untuk datang merasakan kehangatan warga Desa Kemiren dalam menyambut tamu," kata Anas. “Filosofi warga adalah "sak corot dadi seduluran", sekali seduh kita bersaudara. Dengan ngopi bersama, kita bersilaturahim. Orang dari berbagai daerah jadi satu di sini, bersenda-gurau, padahal sebelumnya belum saling kenal,” imbuhnya. Masyarakat Desa Kemiren memiliki tradisi menyuguhkan kopi kepada para tamunya. Suguhannya pun khas, yaitu tak menggunakan gelas, tapi menggunakan cangkir khusus yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tak heran, cangkir yang digunakan di setiap rumah dalam festival ini pun seragam karena merupakan cangkir yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya. "Tradisi masyarakat Kemiren yang suka berbagi inilah yang menjadi ruh dari festival ini, sehingga memiliki nilai lebih dibanding festival kopi lainnya," jelas Anas. Anas menambahkan, festival ini juga bertujuan menggerakkan sektor ekonomi kreatif berbasis kopi. Pasar kopi di Indonesia masih sangat terbuka, apalagi pasar ekspor. Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah brasil, vietnam, dan kolombia. Tiap tahun negeri kita memproduksi sekitar 670.000 ton. Tapi Indonesia bukan peminum kopi terbesar. “Negara peminum kopi terbesar adalah Finlandia dengan 12 kilogram per orang per tahun. Konsumsi kopi Indonesia baru 1,7 kilogram per orang per tahun. Tapi trennya terus naik, nah ini peluang yang bisa diincar,” ujarnya. Anas juga menyebut bagaimana penetrasi Starbucks yang punya lebih dari 20.000 kedai kopi di seluruh dunia. Demikian pula beragam kedai kopi lainnya yang mampu mengolah kopi asal Indonesia menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. “Banyuwangi punya potensi kopi luar biasa. Sekarang banyak anak muda menggarapnya dengan kemasan menarik. Penjualannya cukup besar, terutama lewat online. Karena itulah, Banyuwangi juga menggelar Coffee Processing Festival untuk meningkatkan daya saing penggerak kopi,” ujarnya. Produksi kopi Banyuwangi berkisar 9.000 ton per tahun dengan luasan lahan hampir 8.500 hektar. Sekitar 90 persen dari produksi itu dikirim ke berbagai daerah dan diekspor melalui BUMN perkebunan. Dengan festival berbasis kopi, Anas berharap kreativitas para penggeraknya terus meningkat. Anas lalu mengutip pendapat pendiri Alibaba, Jack Ma, tentang tiga hal yang harus disiapkan untuk menghadapi revolusi industri 4.0. "Jack Ma bilang ada tiga hal yang disiapkan, yaitu e-government, education, dan entrepreneurship. Entrepreneurship berbasis kreativitas inilah yang perlu terus dipupuk, termasuk lewat sektor kopi,” pungkas Anas.


Berita Terkait

Bagikan Artikel :